Positioning Produk Digital Biar Nggak Tenggelam di Lautan Kompetitor

Kita hidup di era digital di mana hampir semua hal bisa diakses lewat ujung jari. Dari kursus online, aplikasi manajemen keuangan, hingga game mobile—semuanya berlomba-lomba menarik perhatian pengguna. Tapi, kenyataannya nggak semua produk digital bisa jadi top of mind. Banyak yang akhirnya ‘tenggelam’ sebelum sempat unjuk gigi. Nah, di sinilah pentingnya strategi positioning produk digital.

Bicara soal positioning, ini bukan cuma soal bikin logo keren atau tagline catchy. Ini tentang gimana caranya produk kita bisa “ditempatkan” dengan jelas di kepala dan hati pengguna. Sebuah produk digital yang punya positioning kuat akan lebih mudah diingat, dipercaya, dan tentu saja, dipilih.

Masalahnya, banyak pelaku bisnis digital masih fokus ke fitur dan teknologi, padahal yang bikin orang beli itu sering kali adalah persepsi. Konsumen nggak selalu peduli seberapa canggih backend kita—yang mereka mau adalah solusi yang relevan, nyaman, dan bisa menyelesaikan masalah mereka. Jadi, yuk kita bahas lebih dalam soal strategi positioning produk digital dengan pendekatan yang fresh dan relevan.


1. Mulai dari Memahami Masalah Nyata Pengguna

Kalau mau menang di positioning, kita harus mulai dari pertanyaan: Masalah siapa yang sedang kita pecahkan? Kadang terlalu tergoda sama teknologi, kita malah bikin fitur yang keren tapi nggak kepakai. Contohnya, aplikasi keuangan yang bisa konek ke 30 bank, padahal pengguna cuma butuh reminder buat bayar tagihan tepat waktu.

Menurut data Populix (2024), 72% pengguna aplikasi digital di Indonesia bilang mereka lebih loyal ke produk yang langsung menyelesaikan masalah mereka, bukan yang paling lengkap fiturnya. Artinya, positioning yang kuat itu dimulai dari kesederhanaan dan fokus. Kita nggak harus jadi segalanya buat semua orang—cukup jadi solusi terbaik buat target pengguna yang spesifik.


2. Temukan Ceruk yang Belum Terjamah (Micro-Niche)

Salah satu cara paling efektif buat standout di pasar digital yang crowded adalah dengan menggarap ceruk kecil. Misalnya, daripada bikin aplikasi belajar bahasa Inggris yang umum, kenapa nggak fokus ke “Bahasa Inggris untuk Profesional Medis” atau “English for Freelancers”?

Strategi ini terbukti ampuh. Startup lokal seperti LinguaMed—yang menargetkan tenaga medis yang ingin belajar Bahasa Inggris klinis—dengan positioning dan digital funnel berhasil tumbuh 170% user base-nya hanya dalam 6 bulan pertama peluncuran. Kenapa? Karena positioning mereka sangat jelas dan langsung mengena ke audiens yang butuh solusi spesifik.


3. Gunakan Emotional Hook dalam Komunikasi

Kalau kamu pikir orang beli produk digital karena logika, coba pikir ulang. Banyak keputusan dibentuk oleh emosi. Positioning yang kuat biasanya mengaitkan produk dengan perasaan tertentu: aman, bangga, cerdas, atau bahkan nostalgia.

Contoh sukses? Aplikasi Headspace bukan cuma jualan fitur meditasi. Mereka menjual perasaan tenang di tengah dunia yang chaos. Narasi mereka konsisten: “We’re here to help you live a less stressed life.” Itu bukan cuma positioning, tapi juga janji emosional yang relevan banget.

Kuncinya adalah membangun narasi yang beresonansi dengan pengguna. Nggak harus lebay, tapi jujur dan autentik. Kalau target kamu adalah fresh graduate yang mau naik karier lewat kursus online, sampaikan positioning kamu sebagai “platform belajar yang ngerti perjuanganmu dari nol.”


4. Validasi dengan Data, Bukan Asumsi

Salah satu jebakan positioning adalah terjebak asumsi internal. Tim produk atau marketing sering mikir mereka tahu apa yang pengguna mau. Tapi kenyataannya, kadang yang kita kira penting, nggak dianggap penting oleh pengguna.

Gunakan data! Tools seperti Mixpanel, Hotjar, atau bahkan hasil survei internal bisa bantu kita tahu apa yang benar-benar bikin user tertarik, bertahan, atau kabur. Misalnya, jika ternyata pengguna lebih banyak klik fitur reminder ketimbang dashboard analitik, itu bisa jadi sinyal buat reframe ulang positioning kamu.

Contoh realnya datang dari aplikasi budgeting JagoPlan. Awalnya mereka menempatkan diri sebagai “aplikasi manajemen keuangan lengkap.” Tapi setelah data menunjukkan mayoritas user hanya pakai fitur budgeting sederhana, mereka pivot jadi “aplikasi budgeting super simpel buat generasi Z.” Hasilnya? Konversi naik 2,5 kali lipat dalam 3 bulan.


5. Ciptakan Pembeda yang Mudah Diingat

Positioning yang solid butuh satu hal penting: diferensiasi. Tapi hati-hati, beda doang nggak cukup. Diferensiasi harus bermakna dan relevan.

Misalnya, kalau kamu bikin aplikasi kesehatan, jangan cuma jualan “punya lebih banyak artikel.” Coba bikin pembeda seperti: “satu-satunya app kesehatan yang bisa diakses saat offline,” atau “yang pertama menawarkan rekomendasi makanan berdasarkan hasil lab.”

Dalam riset Deloitte Digital 2023, 58% pengguna digital cenderung beralih ke produk yang punya diferensiasi unik namun tetap relevan dengan kebutuhan sehari-hari mereka. Jadi, temukan satu hal yang bisa kamu pegang erat sebagai pembeda—dan bangun seluruh positioning di atas hal itu.


6. Jadikan Brand Voice Bagian dari Positioning

Voice atau nada bicara brand adalah bagian penting dari positioning, terutama buat produk digital yang berinteraksi lewat antarmuka. Nada yang hangat, santai, atau bahkan jenaka bisa menciptakan pengalaman pengguna yang berkesan dan meningkatkan retensi.

Contoh fenomenal adalah Duolingo. Dengan gaya bicara yang lucu dan terkadang absurd, mereka berhasil menempatkan diri bukan cuma sebagai aplikasi belajar bahasa, tapi juga teman yang menyenangkan. Positioning mereka lebih dari sekadar fungsi—mereka adalah pengalaman.

Kalau produkmu ditujukan buat generasi muda, jangan ragu buat pakai bahasa yang ringan dan relatable. Tapi kalau targetmu profesional B2B, pakai nada yang percaya diri, to the point, tapi tetap manusiawi.


7. Konsistensi di Semua Titik Sentuh (Touchpoints)

Positioning bukan cuma soal iklan atau konten media sosial. Ia harus konsisten di semua titik interaksi: dari onboarding, UI/UX, sampai notifikasi push. Kalau positioning kamu adalah “simpel dan cepat,” maka proses login pun harus mudah dan nggak ribet.

Banyak brand digital gagal karena positioning yang nggak konsisten. Mereka bilang user-friendly, tapi pakai istilah teknis di dalam aplikasi. Atau mereka bilang peduli pengguna, tapi CS-nya slow respon dan robotik. Inconsistency ini bisa merusak persepsi yang sudah dibangun mahal-mahal.


Kesimpulan: Positioning Bukan Janji, Tapi Pengalaman Nyata

Strategi positioning buat produk digital itu bukan soal janji manis di awal, tapi gimana seluruh pengalaman pengguna mencerminkan nilai dan karakter brand kamu. Ini tentang memahami kebutuhan terdalam pengguna, mengeksekusinya lewat produk yang tepat, dan menyampaikannya dengan cara yang mengena secara emosional.

Jadi, kalau kamu saat ini lagi membangun atau rebranding produk digital, mulai evaluasi lagi: Apa sebenarnya yang ingin kamu tanamkan di kepala pengguna? Dan apakah itu benar-benar mereka rasakan saat menggunakan produkmu?


Yuk, mulai dari sekarang pikirkan: gimana produk digitalmu bisa punya posisi unik di pasar yang bising ini? Jangan cuma bersaing di fitur—tapi menangkan hati pengguna lewat positioning yang bermakna dan konsisten.

Kalau kamu butuh diskusi lebih lanjut soal strategi positioning atau branding produk digitalmu, feel free buat tanya-tanya—lebih seru kalau bareng!

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *